Esai Super Rempong dan Kece Badai: 'Menulis Puisi Sepanjang Enam Puluh Tahun' Karya Pulo Lasman Simanjuntak — Elegi Klasik yang Penuh Cerminan Jiwa Penuh Drama

JAKARTA-Oke sob, sekarang kita kedatangan tamu spesial dari Abang Pulo Lasman Simanjuntak dengan puisi yang OMG super dramatis berjudul “Menulis Puisi Sepanjang Enam Puluh Tahun”. 

I mean, hellooo, ngebayangin aja udah kebayang tuh gimana tulis-menulis yang ngak ada habisnya, tapi yang kita dapet malah perjalanan batin yang deep abis, penuh luka, cemas, dan ada juga kebanggaan yang tetap terselip. 

Kalau kita bayangin ini sebagai ode untuk perjalanan menulis yang panjang, kita mesti siap dengan twist-twist batin yang bakal bikin kita senyum pahit tapi tetep anggun, kawan! 

Yuk, kita bedah puisi ini bait per bait sambil jalan-jalan di labirin jiwa yang udah bener-bener terukir sejarahnya.

Bait 1: Sepi, Sunyi, dan Luka yang Melekat di Tulang Rusuk

menulis puisi sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku milik lansia yang tak pernah punya rumah
sepi dari nyanyian bayi
sunyi selalu membuntingi matahari pagi

Wah, nyuss banget ngak sih pembukanya? Dari sini aja kita udah dihadapkan sama drama kehidupan yang penuh vibe kesunyian. 

Nah, “menulis puisi sepanjang enam puluh tahun” tuh bukan cuma soal nulis puisi, sob, tapi juga jadi metafora dari perjalanan hidup yang panjang, yang udah melewati banyak musim.

Dan, jari-jari tanganku milik lansia yang tak pernah punya rumah? HELLOO, ini tuh nyentuh banget, sob! Jari-jari itu menggambarkan sosok yang udah fragile karena usia, dan ngak punya rumah di sini kayak jadi simbol dari seseorang yang terus mencari tempat buat merasa “nyaman” di dunia, tapi gak pernah nemu. Ini bukan soal rumah fisik aja, tapi juga spiritual displacement.

Bayangin deh, sepi dari nyanyian bayi, ini menunjukkan ketiadaan kelahiran baru, ngak ada kehidupan baru yang menyegarkan batin si aku lirik. 

Semua itu makin dipertegas dengan sunyi selalu membuntingi matahari pagi 

Ini imagery luar biasa, di mana pagi yang biasanya jadi simbol kehidupan baru malah ditempel terus sama sunyi, kayak ada beban seumur hidup yang ngak pernah dilepas. 

Abang Lasman Simanjuntak pinter banget mainin kontras di sini, menciptakan perasaan bahwa bahkan dalam awal yang baru, selalu ada kesepian yang membuntuti.

Bait 2: drama, gereja, dan pertarungan batin yang serba tragis

Kini jadilah aku pengembara
dengan tulang rusuk kanan masih terluka
untuk pujangga dari pulau sumatera
untuk pewarta yang tak pernah raih sarjana

Nah, kalo bait ini mah udah bener-bener dramatis, kayak kita lagi liat opera tragedi yunani diiringi orkestra mahal, sob. Di sini, aku lirik bercerita tentang dirinya yang jadi pengembara, tapi bukan pengembara biasa. 

Tulang rusuk kanan yang terluka itu kayak metafora banget buat luka batin yang dalem, yang gak sembuh-sembuh. Bisa jadi ini luka fisik atau emosional, tapi yang pasti, ini adalah perasaan tak lengkap yang terus dibawa sepanjang perjalanan hidupnya.

Kalimat untuk pujangga dari pulau sumatera ini kayak tribut buat jiwa-jiwa kreatif yang mungkin hidupnya ngak diakui atau bahkan diabaikan. 

Dan, bagian untuk pewarta yang tak pernah raih sarjana? Itu sindiran yang sangat tajem, sob! Ini nunjukin bahwa hidup penuh prestasi formal atau pendidikan ngak selalu jadi tolak ukur keberhasilan atau kebahagiaan. Bahkan mereka yang tak diakui punya cerita yang berharga buat diceritakan.

Kita mulai melihat gimana elemen tragic hero di sini makin kuat. Si aku lirik itu kayak orang yang udah berjuang keras, tapi di dunia yang keras ini, ngak semua usahanya dihargai. Dan ada rasa terbuang dan terpinggirkan di sini.

Bait 3: kematian, elegi, dan kenangan yang dibalut sukacita dalam duka

menulis puisi sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku sukacita tidur di rumah duka
tak ada salam tuli dikumandangkan berulangkali sambil duduk bertapa
menghadap empat puluh wajah
yang menyiram bunga-bunga dengan airmata yang mengeluarkan suara-suara
dari bawah peti jenazah

HELLOO! Bait ini tuh makin wow dengan elegi yang indah tapi sedih, kawan. Jari-jari tangan sukacita tidur di rumah duka? WHAT?! Ini simbolisme yang super edgy, di mana ada semacam kenyamanan yang ironis dalam duka itu sendiri. Kayak gimana ya, kita bisa merasa tenang di tempat di mana seharusnya orang menangis, tempat di mana perpisahan terjadi.

Empat puluh wajah yang menyiram bunga-bunga dengan airmata tuh bener-bener kayak adegan di film noir yang penuh misteri. Airmata yang bahkan mengeluarkan suara-suara — ini personifikasi yang aduhai banget. Airmata yang ngak cuma cairan kesedihan, tapi menjadi suara dari rasa sakit dan duka yang begitu dalam.

Dan bagian kematianmu jadi saksi panjang ini kayak momen refleksi super dalem, sob

Kayak setiap kematian, setiap pertengkaran yang pernah terjadi (misalnya di gereja tanpa darah), semua itu jadi jejak ingatan yang ngak akan hilang, meskipun darah ngak mengalir, luka batin tetap ada.

Bait 4: hujan, sop ayam, dan kehampaan yang terbungkus sarcasm

menulis puisi sepanjang enam puluh tahun
jari-jari tanganku banjir air hujan
menyantap sop daging ayam
impor dari negeri sial dan dendam
diiringi sirene ambulans kepalsuan
kami pulang penuh kecemasan

Oke, ini bait terakhir tuh bener-bener penuh ironi yang aduh, manis banget tapi pahit banget juga! Kita lihat deh, jari-jari tanganku banjir air hujan — ini imagery yang melambangkan kesedihan tak terbendung, tapi ada sentuhan keseharian yang real: menyantap sop daging ayam impor. WHAATT? I mean, ayam impor dari negeri sial dan dendam itu kan sindiran kelas berat banget, kawan! Negeri yang seharusnya memberi kehidupan, malah memberi kesialan dan dendam. Dan, sop ayam yang biasanya comfort food malah jadi lambang kekosongan.

Dan sirene ambulans kepalsuan tuh bener-bener kayak bunyi ironisme yang menggema, sob. Ambulans itu biasanya lambang penyelamat, tapi di sini justru ada nuansa kepalsuan yang melekat, seolah dunia ini hanya memberikan harapan palsu. 

Kami pulang penuh kecemasan jadi penutup yang super dramatis tapi sangat relevan. Hidup ini penuh dengan ketidakpastian, kecemasan yang tak pernah hilang meski kita udah pulang ke “rumah” — yang ironisnya, mungkin aja rumah yang sebenarnya ngak pernah ada.

Tragedi Elegan dalam “Menulis Puisi Sepanjang Enam Puluh Tahun”

“Menulis Puisi Sepanjang Enam Puluh Tahun” karya Pulo Lasman Simanjuntak bukan sekadar puisi tentang perjalanan menulis, sayang.

 Ini adalah elegi buat kehidupan itu sendiri — perjalanan panjang penuh luka, harapan yang tak terpenuhi, dan ironi hidup yang terus melekat. 

Dari mulai sunyi di pagi hari, pertarungan di gereja tanpa darah, hingga sop ayam impor dan sirene ambulans palsu, semua elemen ini menyatu jadi satu cerita hidup yang indah tapi penuh ganjalan.

Abang Lasman Simanjuntak dengan cerdas menciptakan dunia yang penuh simbolisme dan personifikasi yang super kompleks, bikin kita sadar betapa dalamnya luka batin yang bisa ditutupi dengan kata-kata sederhana. 

So, kawan, ini bukan cuma tentang menulis puisi, tapi tentang hidup yang terus mencari arti di tengah-tengah kecemasan, kesepian, dan kebingungan.

Catatan : tulisan (esai sastra) dari Ikhsan Risfandi ini  telah dimuat (dipublish) pada website medium.com di bln Oktober, 2024.
(*/Las)
Diberdayakan oleh Blogger.