Dokter Spesialis Jantung RS Siloam TB Simatupang: Ablasi Lebih Efektif untuk Pengobatan Pasien Gangguan Irama Jantung

Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi SpJK (K), FIHA, FAsCC, FEHRA, electrophusiologist Siloan Hospital TB Simatupang 

JAKARTA – Ablasi diklaim para ahli menjadi teknik penanganan kasus gangguan irama jantung atau fibrilasi atrium atau atrial fibrilasi (AF) dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan. Studi menunjukkan pada pasien AF yang menjalani pengobatan ablasi dapat terhindar dari risiko stroke.

Hal itu disampaikan Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP (K), FIHA, FAsCC, FEHRA, Electrophysiologist Siloam Hospitals TB Simatupang, Selasa (24/9/2024).

“Dalam pengamatan jangka panjang (long term result) tingkat keberhasilan ablasi jantung mencapai 86 persen. Angka ini setara dengan tindakan ablasi yang dilakukan Mayo Clinic AS,” ujar Prof Yoga.

Rekomendasi ablasi jantung untuk penderita AF ini diakui Prof Yoga baru disepakati sekitar dua pekan lalu. Para ahli yang tergabung dalam berbagai organisasi profesi seperti American Heart Asociation, Asia Pacific Heart Ritm Cardiology, semua menganjurkan ablasi sebagai pilihan pertama (first life) untuk penanganan AF karena bukti-bukti efektifitas dan keamanan ablasi yang semakin banyak.

Fibrilasi atrium atau atrial fibrilasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang ditandai dengan denyut jantung tidak beraturan dan cepat. Gangguan ini muncul ketika generator yang menyuplai listrik untuk jantung tiba-tiba bekerja tidak normal. 

Dijelaskan Prof Yoga, pada jantung yang sehat, generator listik yang asli yang normal itu berada di serambi kanan dan hanya ada satu. Generator ini mengeluarkan listrik secara periodik dan listrik ini harus sampai di dinding atau otot bilik melalui jalur konduksi dimana masing-masing punya kecepatan yang berbeda.

Namun, pada AF generatornya bukan hanya satu tetapi muncul 400 sampai 600 generator lainnya di serambi kiri jantung. Generator asli di serambi kanan menjadi tidak berfungsi dan digantikan oleh generator lainnya yang memicu serambi jantung bergetar dan dibanjiri sinyal listrik. Akibatnya, irama jantung menjadi cepat dan tidak teratur. 

“Pada orang dengan AF, denyut jantung bisa berkisar antara 100 hingga 175 denyut per menit,” tambah Prof Yoga.

Jika dilakukan rekam EKG pada pasien AF maka akan terlihat jantung dengan gangguan AF denyut nadinya menjadi irregular, dan komponen gelombangnya kecil-kecil tidak jelas. Denyut nadi yang irregular ini membuat darah yang dipompa di jantung seperti dipimpong. Pada akhirnya akan menyebabkan darah menggumpal. 

“Kalau menggumpal lalu masuk bilik kiri dan terus dipompa, gumpalan darah bisa nyangkut di otak. Inilah yang kemudian memicu terjadinya stroke,” katanya.

Awalnya, untuk mengatasi terjadinya AF ini, para dokter memberikan terapi berupa obat-obatan. Namun kini terapi yang dianggap paling efektif adalah ablasi jantung. 

Ablasi jantung adalah prosedur medis untuk mengatasi irama jantung yang tidak teratur atau aritmia. Prosedur ini dilakukan dengan menghancurkan jaringan jantung yang tidak normal menggunakan energi panas atau dingin. Prosedur ablasi dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke dalam jantung. Kateter ini dihubungkan dengan mesin yang memberikan energi listrik untuk memutus jalur konduksi tambahan atau focus aritmia. 

Inti dari ablasi jantung adalah mematikan listrik jantung yang menjadi sumber AF. “Ini dilakukan poin demi poin, biasanya lebih dari 100 titik kita lakukan,” tegasnya.

Ada dua metode untuk melakukan ablasi jantung, yakni ablasi frekuensi radio menggunakan energi panas untuk menghilangkan jaringan yang menyebabkan aritmia. Dan kedua adalah cryoablation dengan menggunakan suhu yang sangat dingin di bawah 50 derajat celcius untuk menghancurkan jaringan penyebab aritmia. Dua metode ini intinya sama-sama bertujuan memblokir sinyal listrik yang tidak teratur dan mengembalikan detak jantung normal kembali. 

Prof Yoga mengingatkan siapapun berisiko terkena terkena AF. Namun risiko terbesar adalah mereka yang memiliki riwayat hipertensi, obesitas, merokok, diabetes melitus, dan factor genetic alias garis keturunan.

Risiko AF juga akan meningkat seiring bertambahnya usia. AF bisa meningkatkan risiko kematian 1,5-3,5 kali lipat dan meningkatkan risiko terjadinya stroke hingga lima kali lipat. 

Puncak usia penderita AF 

Meski gangguan irama jantung berkaitan erat dengan factor usia, namun sebuah penelitian yang dilakukan Optima Studi terhadap 1.600 pasien AF diperoleh fakta bahwa puncak AF di Indonesia ditemukan pada orang dengan rentang usia 40-65 tahun. Sedang di negara-negara barat, puncak AF ditemukan pada rentang usia 65-80 tahun.

“Kalau usia 40-65 tahun itu artinya kita lebih muda, sedang masa usia produktif, masa puncak karier. Studi ini juga menunjukkan bahwa AF lebih banyak ditemukan pada laki-laki meski perbedaannya dengan perempuan sangat tipis,” jelas Prof Yoga.

Karena itu, menurut Prof Yoga, mengatasi AF di Indonesia menjadi sangat penting. Karena AF dapat memicu stroke yang berujung pada kelumpuhan atau invalid pasien. “Beban sosialnya sangat tinggi. Kalau orang sudah stroke, maka akan lumpuh, invalid dan tidak lagi bisa bekerja,” tambahnya.

Diakui Prof Yoga, tidak banyak orang bisa mengenali adanya gangguan AF. Jantung berdebar yang tidak normal, apalagi munculnya sesekali, orang akan cenderung mengabaikan. “Ya, sekitar 46 persen pasien AF tidak merasakan gejala yang khas (asimtomatik). Karenanya sekitar 60 persen pasien AF baru terdeteksi menderita AF setelah ada kejadian stroke,” jelasnya.

Namun Prof Yoga mengingatkan orang dengan AF, sekali jantung berdebar tidak normal, pasien hanya memiliki waaktu 24 jam sejak terdeteksi jantung berdebar untuk terhindar dari stroke. Risiko ini jauh lebih tinggi dibanding orang stroke akibat hipertensi yang perjalanan waktunya bisa belasan bahkan puluhan tahun. “Tapi AF hanya butuh waktu 24 jam untuk menjadi stroke,” papar Prof Yoga.

Meski asimtomatik, menurut Prof Yoga, gejala AF paling umum adalah detak jantung yang tidak teratur dan bergetar. Gejala lainnya bisa berupa jantung berdebar, nyeri dada, kesulitan beraktivitas, kelelahan ekstrem, lemah dan pembengkakan kaki atau pergelangan kaki.

Gejala AF bisa datang dan pergi, berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam, atau bahkan selama seminggu. Gejala AF juga bisa hilang dengan sendirinya. Itu mengapa banyak orang yang tidak bisa mengenali gejala awal AF.

Skrining adalah cara paling tepat untuk mengetahui apakah irama jantung kita normal atau tidak. Skrining bisa dilakukan melalui pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) untuk melihat aktivitas listrik jantung yang tidak teratur dan holter monitor, yaitu EKG portabel yang dapat merekam aktivitas listrik jantung selama 24 jam atau lebih. Ada juga pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto rontgen dada untuk melihat kondisi jantung dan paru-paru, echo jantung untuk memeriksa bentuk dan fungsi jantung dan tes darah untuk memeriksa kadar kolesterol.

Namun orang awam bisa melakukan metode MENARI yakni meraba nadi sendiri. Metode ini bisa dilakukan dengan cara yang sangat sederhana dimana orang cukup meraba denyut nadi di pergelangan tangan sendiri.

“Jika kita menemukan denyut nadi yang tidak normal, tidak beraturan maka segera pergi ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penanganan AF lebih dini akan memungkinkan seseorang terhindar dari komplikasi dan memiliki tingkat kesembuhan lebih tinggi,” tegasnya.

Saat ini diperkirakan ada 7 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan AF. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat selama gaya hidup masyarakat kurang sehat, obesitas, merokok, kurang gerak dan factor pemicu lainnya.

Siloam Hospitals TB Simatupang sendiri telah mengadopsi metode ablasi jantung untuk penanganan pasien AF. Metode yang dilakukan secara minimal invasive ini merupakan terobosan baru dalam merawat dan menangani pasien penderita AF. (in)

Diberdayakan oleh Blogger.