Gulat Manurung, Ketua Umum Apkasindo : Regulasi ISPO Dapat Mengarah Pada Skenario yang Merugikan Pelaku Industri Sawit di Indonesia

JAKARTA,- Awal kehancuran petani kelapa sawit di  Indonesia sudah di depan mata.Hal tersebut mulai terendus takkala Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mensinyalir dugaan keterlibatan 'dana asing' dalam proses pembentukan regulasi terkait sertifikasi standar mutu pengelolaan industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO- Indonesian Sustainable Palm Oil).

Demikian dikatakan oleh Gulat Manurung, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dalam acara Diskusi Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) bertemakan "Menjaga Keberlanjutan Industri Sawit Dalam Pemerintahan Baru" bertempat di Gedung D, Kantor Pusat Kementerian Pertanian RI di Jakarta, Kamis siang (4/7/2024).

Dalam diskusi tersebut juga hadir nara sumber Fanny Sofyan, Ketua Kompartemen Media Ralation Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) dan Prof.Rachmat Pambudy, Guru Besar IPB dengan moderator Yulianto, Redaktur Tabloid Sinar Tani.

Dijelaskan oleh Gulat Manurung Peraturan Presiden (Perpres) No.44 tahun 2022 yang mengatur sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, mandatori akan diterapkan mulai tahun 2025 mendatang.

"Telah dipengaruhi campur tangan pihak asing.Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperlihatkan bukti adanya masukan aliran dana asing sekitar Rp 13 miliar dalam tahap perencanaan ISPO.Yang merancang Perpres ISPO dibayar negara luar sebesar Rp 13 miliar untuk konsultannya.Setelah selesai diserahkan Kementan kepada Kemenko," ujarnya.

Tentang keterlibatan konsultan dari negara asing yang dibayar sekitar Rp 13 miliar tersebut menurut Gulat Manurung sudah dikonfirmasi kepada pihak PPATK.

"Saya tanya PPATK, benarkah itu masuk dana, dijawab benar.Kalau dirupiahkan kurang lebih Rp 13 miliar masuk dana ke waktu perancangan ISPO.Proses perancangan peraturan ISPO diduga dilakukan oleh konsultan yang dibangun oleh negara asing.Draft regulasi tersebut kemudian diserahkan kepada pemerintah dan pada akhirnya disetujui oleh Presiden Jokowi.Draft yang mereka rancang sampai kepada Presiden Jokowi.Jungkir balik APKASINDO jangan sampai diteken tetapi ketika terjadi pandemi covid di tahun 2020, mungkin karena kita panik karena pandemi covid, Pak Jokowi langsung teken.Di situ awal kehancuran petani sawit," tegasnya.

Implementasi mandatori ISPO pada tahun 2025 mendatang bisa menjadi ancaman serius bagi industri kelapa sawit di tanah air.

Seperti halnya yang pernah dialami dalam kasus dampak regulasi industri tembakau pada tahun 2005 lalu.Dalam kasus industri tembakau-sebagai perbandingan-Gulat Manurung mengkritik kebijakan yang dinilai sebagai potensi untuk melemahkan industri sawit dalam negeri.

Sebagai contoh, apa yang dialami industri tembakau ketika PT.Philip Morris Indonesia, perusahaan afilisasi Philip Morris Internasional "melahap" mayoritas saham PT.HM.Sampoerna Tbk pada Mei 2005.Pada saat ini PT.Philip Morris menguasai 92,5 persen saham Sampoerna.

Selain itu juga ada British America Tobacco yang "melahap" 85 persen saham PT.Bentoel Internasional Invesma Tbk (RMBA) tahun 2009 silam.

"Industri tembakau dulu dibuat peraturan dilarang merokok dimana-mana.Kemudian Sampoerna dibeli America Tobacco.Eh, setelah dibeli, pemerintah membuat aturan lagi boleh merokok.Sebagai kesimpulan regulasi ISPO dapat mengarah pada skenario yang merugikan para pelaku industri sawit di Indonesia dengan potensi konsekuensi serius bagi perusahaan-perusahaan besar," ucapnya.

Hambatan Kawasan Hutan

Pada kesempatan itu Gulat Manurung-sedikit emosi dan sangat menyesalkan tak ada satu pun pejabat Kementan cq Ditjen Perkebunan yang hadir dalam diskusi FORWATAN- memaparkan berdasarkan data APKASIND0 luas perkebunan kelapa sawit yang sudah ISPO per Oktober 2022 baru 3,68 juta Ha atau hanya 22,49 persen dari total luas 16,38 juta Ha.

Jumlah tersebut terdiri dari 1) perkebunan rakyat 6,72 juta Ha (ISPO 20.910,47 Ha atau 0,31 persen).

2) perkebunan negara 980 ribu (ISPO 225.548,83 Ha atau 26,08 persen), 

 3) perkebunan swasta 8,68 juta Ha (ISPO 3,4 juta Ha atau 39,26 persen).

"Hambatan yang masih dialami yakni kawasan hutan yang itu merupakan syarat utama ISPO, clear kawasan hutan.Kedua adalah Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).Penerbitan STDB di pemerintah daerah sangan lamban.Dari 6,7 juta Ha lahan perkebunan rakyat, baru 1,3 persen yang sudah STDB," pungkasnya.(Lasman)
Diberdayakan oleh Blogger.