Penggunaan Rokok Elektrik di Kalangan Anak Muda di Indonesia Meningkat

 

         Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti

JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2018 mengalami penurunan dari 9,1 persen menjadi 7,4 persen. Namun disisi lain terjadi peningkatan jumlah perokok elektrik yang cukup signifikan dari 0,06 persen menjadi 0,13 persen (SKI 2023).

“Data Global Adult Tobacco Survei menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan pada prevalensi pengguna rokok elektrik,” kata Eva pada temu media Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Peningkatan penggunaan rokok elektrik tersebut lanjut Eva menjadi salah satu indikasi adanya kecenderungan anak-anak muda yang mulai beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik dengan berbagai alas an. Fakta ini tentu saja penting untuk mendapatkan perhatian yang serius oleh berbagai pihak.

Menurut data SKI, ujarnya, rentang usia mulai merokok terbanyak adalah 15-19 tahun, sebanyak 56,5 persen, disusul dengan 10-14 tahun sebesar 18,4 persen. Data hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok pada anak sekolah usia sekolah, terutama pada umur 13-15 tahun, dari 18,3 persen tahun 2016 menjadi 19,2 persen tahun 2019.

Indonesia sendiri diakui Eva saat ini dihadapkan pada pertumbuhan perokok aktif akibat gencarnya promosi iklan rokok terutama melalui media sosial. “Indonesia adalah pasar yang potensial bagi industry rokok,” tegasnya.

Karena itu, Eva mengingatkan pentingnya edukasi pada anak-anak akan bahaya rokok agar anak tidak menjadi prokok aktif. Karena semakin bertambah usia, anak yang merokok bisa menjadi kecanduan dan pada akhirnya sulit lepas dari rokok. Edukasi ini tentu saja menjadi tanggungjawab semua pihak, tidak hanya Kementerian Kesehatan.

Tren perokok muda di Indonesia ini mendapat perhatian serius dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Team Lead NCD and Healthier Population, WHO Indonesia Lubna Bhatti, mengatakan terjadi peningkatan perokok usia muda dalam kurun 8 tahun terakhir ini.

"Kita melihat gambaran yang sama pada remaja, tercermin dalam laporan aktual Global School-based Student Health Survey di Indonesia, yang menunjukkan bahwa penggunaan tembakau di kalangan remaja berusia 13--17 tahun meningkat dari lebih dari 13 persen pada 2015 menjadi 23 persen pada 2023," Lubna pada kesempatan yang sama.

Bberbagai upaya dilakukan oleh industry rokok untuk menarik minat generasi muda menjadi perokok, antara lain dengan menciptakan rokok elektrik. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan rokok elektrik justru meningkatkan konsumsi rokok konvensional di kalangan remaja hingga tiga kali lipat. Pada tahun lalu, lebih dari 12 persen siswa berusia 13--17 tahun di Indonesia dilaporkan menggunakan rokok elektrik. “Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan populasi umum, yaitu sebesar 3 persen," katanya.

WHO melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat 87 dari 90 negara dalam Indeks Interferensi Industri Tembakau Global.

Kementerian Kesehatan sendiri gencar melakukan edukasi untuk mencegah agar anak-anak tidak merokok, seperti dengan larangan konsumsi produk tembakau dan rokok elektrik bagi anak-anak dan wanita hamil, serta larangan iklan di media sosial berbasis teknologi dan juga penjualan rokok batangan. Selain itu, berdasarkan UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan serta sejumlah Peraturan Pemerintah, pemerintah daerah diwajibkan untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tujuh tatanan, antara lain sekolah, fasilitas kesehatan, dan angkutan umum. (antara/inung)

Diberdayakan oleh Blogger.