Menkes Budi Sebut Tiga Masalah Mendasar yang Dihadapi SDM Bidang Kesehatan Indonesia

 

Menkes Budi saat membuka Forum Komunikasi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis 2024
 

JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa persoalan kekurangan sumber daya manusia (SDM) bidang kesehatan menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Dan persoalan kekurangan SDM Kesehatan ini tidak bisa diselesaikan dalam kurun waktu satu atau dua tahun.

“Berbeda dengan persoalan kekurangan alat, selama ada uang maka bisa diselesaikan dengan cepat. Kalau kekurangan SDM Kesehatan, untuk menyelesaikannya kita butuh waktu setahun, dua tahun, tiga tahun bahkan lebih,” kata Menkes saat membuat kegiatan Forum Komunikasi Nasional Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tahun 2024 yang digelar Selasa (21/5/2024).

Menurut Menkes terdapat tiga persoalan mendasar yang dihadapi Indonesia terkait kekurangan SDM tenaga Kesehatan ini. Pertama adalah masalah jumlahnya. Menurut data, rasio dokter di Indonesia dibandingkan jumlah penduduk adalah 0,46 per 1000 penduduk. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Singapura yang rasio dokternya sudah mencapai 3:1000.

“Untuk bisa sama dengan negara-negara berstatus hampir miskin saja, kita membutuhkan tambahan rasio 0,5. Jika penduduk kita 280 juta maka kita harus menambah 140 ribu dokter. Padahal produksi dokter kita saat ini hanya 12 ribu per tahun. Artinya kita butuh waktu 12 tahun lebih untuk mencapai rasio dokter dengan standar negara hampir miskin,” ujar Menkes.

Indikasi kekurangan dokter ini lanjut Menkes sebenarnya bisa dilihat dari ketersediaan tenaga dokter di Puskesmas. Dari 10 ribu unit Puskesmas yang ada, 500 diantaranya tidak memiliki dokter. “Apalagi kalau kita bicara dokter gigi, kita ada 3000 Puskesmas yang belum memiliki dokter gigi,” tambah Menkes.

Untuk dokter spesialis, kondisinya jauh lebih ironis. Saat ini seorang dokter spesialis di Indonesia terpaksa membuka praktik di tiga lokasi akibat minimnya dokter spesialis. “Jadi kalau dilogika, kita baru bisa menyediakan 1/3 kebutuhan dokter spesialis. Saya sudah hitung kebutuhan dokter spesialis kita setidaknya 20 ribu untuk memenuhi target satu RSUD 7 dokter spesialis. Sementara produksi kita setahun hanya 2.700 dokter spesialis,” ujar Menkes.

Terkait pengadaan dokter spesialis, Menkes menyebut bahwa tidak mudah untuk mencetak dokter-dokter spesialis. Karena tempat pendidikan dokter spesialis di Indonesia jumlahnya sangat terbatas. Itu pun seringkali terbentur oleh masalah jumlah kasus untuk praktik yang sangat kurang. Karena untuk menjadi dokter spesialis dibutuhkan setidaknya 120 kasus.

Salah satu solusinya adalah mengirim calon-calon dokter spesialis ini ke luar negeri. “Alhamdulillah kita baru saja mengirimkan 5 dokter ke Jepang dan 15 dokter ke China untuk menjadi dokter spesialis. Kita juga akan kirim ke India, karena negara-negara tersebut memang memiliki kasus yang jumlahnya memadai untuk berpraktik menjadi dokter spesialis,” jelas Menkes.

Masalah berikutnya terkait SDM bidang Kesehatan adalah persoalan distribusi yang tidak merata. Menkes menyebutkan bahwa dokter spesialis sebagian besar berada di Pulau Jawa. “Problemnya kita kesulitan sekali menempatkan dokter spesialis di wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Kalau pun ada penempatan karena pendidikan, biasanya setahun kemudian balik ke Pulau Jawa,” ujar Menkes.

 

Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya

Untuk menarik minat dokter spesialis mau ditugaskan di luar Jawa, Kemenkes memberikan insentif berupa gaji antara Rp25 juta hingga Rp30 juta per bulan. “Nah kalau Pemda bisa nambahin lebih bagus lagi, supaya dokter spesialisnya betah tugas di daerah,” katanya.

Dan persoalan ketiga terkait SDM Kesehatan adalah masalah kualitas. Menkes mengakui masih perlunya ditingkatkan kualitas dokter-dokter di Indonesia sehingga bisa setara dengan kualitas dokter-dokter dari negara asing. Masuknya dokter asing ke Indonesia, kata Menkes semestinya tidak dilihat sebagai competitor bagi dokter asli Indonesia, tetapi justeru dijadikan sebagai ajang untuk belajar.

“Kita berkaca dari pengelolaan hotel di Indonesia. Harus diakui pengelolaan hotel di Bali jauh lebih bagus dibanding hotel di daerah lain. Mengapa ini bisa terjadi? Karena banyak hotel di Bali yang GM-nya adalah orang asing. Nah dari GM asing ini, mestinya GM kita banyak belajar, bagaimana mengelola hotel dengan baik, bagaimana meningkatkan kinerja,” ujar Menkes.

Di dunia Kesehatan, masuknya orang asing menjadi dokter spesialis di rumah sakit di Indonesia, jangan ditempatkan pada posisi mengambil kesempatan dokter asli Indonesia. “Jadi kalau nanti ada Dirut RS itu orang bule, jangan marah. Itu untuk menjawab isu ketiga yang sangat fundamental bahwa kita harus meningkatkan kualitas dokter-dokter kita,” tandas Menkes.

Sebelumnya Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya dalam sambutannya mengatakan Forum Komunikasi Nasional Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tahun 2024 merupakan kali kedua yang digelar oleh Kemenkes. Tujuannya adalah melakukan komunikasi dan koordinasi dalam upaya pemenuhan tenaga Kesehatan di Indonesia. Karena itu selain Kemenkes, forum ini melibatkan pihak lain mulai dari Pemda, akademisi, Kementerian/lembaga lain juga praktisi dan himpunan profesi.

Menurut Arianti, SDM Kesehatan saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar yang dihadapi oleh Indonesia. Sebab sebagus apapun sarana dan prasarana juga alat Kesehatan yang ada, tanpa dukungan SDM, maka semuanya akan menjadi sia-sia.

Dalam kesempatan tersebut juga diluncurkan berbagai inovasi Ditjen Tenaga Kesehatan. Kelima inovasi tersebut adalah Pedoman Perencanaan Kebutuhan Nasional Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Satu Sehat SDMK Fitur Evaaluasi Kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNI dan WNA luar negeri, Satu Sehat SDMK Fitur Satuan Kredit Profesi untuk Capai Kebutuhan SKP, Fitur Kompetensi Jabatan Fungsional KesehatanBerbasis CAT dan kebijakakan STR 0 Rupiah khusus untuk WNI. (in)


Diberdayakan oleh Blogger.