Harry Tjahjono 70 Tahun, Sejak Selamat Tinggal Duka
JAKARTA,- Harry Tjahjono ulang tahun. Ia lahir 5 Februari 1954 di Madiun, Jawa Timur. Saya menyapanya, Mas Harry.
Selamat ulang tahun, Mas Harry.
Spirit hidup yang senantiasa Mas tebarkan, sangat mengesankan.
Teruslah menjadi cahaya
untuk negeri yang sama-sama kita cintai ini
Mas Harry adalah sosok senior yang saya hormati. Saya pertama kali mengenal namanya dan karyanya, tahun 1978. Ketika itu, cerita bersambung-nya “Selamat Tinggal Duka” dimuat di majalah Gadis, media dalam korporasi Femina Group, Jakarta.
Masa itu, saya murid SMA Negeri 1 Pariaman, Sumatera Barat. Saya menyimak karya Mas Harry, sebagai wahana belajar. Di masa SMA itu, saya aktif menulis puisi, cerita pendek, artikel, dan laporan jurnalistik di Harian Haluan dan Harian Singgalang. Itu dua media lokal yang terbit di Padang, Sumatera Barat.
Tahun 1980, Selamat Tinggal Duka dijadikan film layar lebar. Skenarionya ditulis oleh Sjuman Djaya dan disutradarai oleh Sukarno M. Noor. Film itu dibintangi oleh Tino Karno & Rano Karno, juga artis cantik Yessy Gusman. Film tersebut disambut hangat, terutama oleh para remaja yang telah membaca cerita bersambung-nya di majalah Gadis.
Tahun 1981, ketika saya mulai studi di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) Jakarta, barulah saya melihat sosok Mas Harry secara langsung. Ia kerap nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, bersama senior-senior saya dari kampus STP. Antara lain, Remy Soetansyah, Syamsudin Noer Munadi, dan Lazuardi Adi Sage. Alfatihah, ketiganya sudah wafat.
Tahun 1982, artikel saya mulai dimuat di majalah Gadis. Cerita pendek saya mulai dimuat di majalah Anita Cemerlang. Dan, tulisan jurnalistik saya mulai dimuat di Harian Sinar Harapan. Di berbagai event sastra, musik, dan film, saya hampir selalu melihat Mas Harry.
Sungguh, saya masih sungkan menyapa Mas Harry. Padahal, dengan Remy Soetansyah, Syamsudin Noer Munadi, dan Lazuardi Adi Sage -misalnya- saya leluasa ngobrol. Agaknya, kekaguman saya kepada Selamat Tinggal Duka, yang membuat saya sungkan. Bahkan, berkali-kali bertemu di Gelanggang Remaja “Bulungan” Jakarta Selatan, tetap saja saya sungkan untuk ngajak ngobrol Mas Harry.
Tahun 1987, saya mulai bekerja secara organik sebagai jurnalis di majalah Gadis. Beberapa kali Mas Harry datang dan beberapa kali kami berpapasan. Kadang di lobi, kadang di lift. Saya menyalaminya, lalu bertegur-sapa. Sebagian besar tim kerja majalah Gadis dan majalah Femina pada masa itu, mengenal Mas Harry dengan baik. Tetap saja saya sungkan untuk ngajak ngobrol Mas Harry.
Selama bertahun-tahun, kami nyaris tak pernah bertatap-muka lagi. Tapi, sebagai sosok senior yang saya hormati, saya selalu mengikuti aktivitas Mas Harry. Antara lain, melalui laman facebook-nya. Ada satu masa, Mas Harry boyongan dari Jakarta ke Madiun. Saya mengenal suasana Stasiun Madiun dan Pasar Gede Madiun, ya dari berbagai postingan Mas Harry.
Sampai suatu hari, kami bertatap-muka kembali. Itu terjadi pada Sabtu, 20 Juli 2019, ketika saya menghadiri Misa Requiem Arswendo Atmowiloto di Gereja Katolik Santo Matius Penginjil, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan. Kemudian, kami bertemu kembali pada Rabu, 30 Oktober 2019, dalam acara mengenang WS Rendra bersama komunitas Sastra Reboan, di Warung Apresiasi, Jalan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan.
Praktis, sejak pertemuan di Misa Requiem Arswendo Atmowiloto tersebut, kami cukup sering bertemu dan ngobrol. Rasa sungkan saya sebagai junior terhadap sang senior, perlahan larut. Nada suara Mas Harry senantiasa pelan, mengayomi. Tiap kali menjelaskan sesuatu, nyaris runtut sesuai kronologis. Saya terus belajar banyak dari Mas Harry. Baik secara langsung, maupun tak langsung.
Sebagai pembaca setia Selamat Tinggal Duka pada tahun 1978, saya beruntung bisa mengenal lebih dalam Mas Harry selaku penulisnya. Bagi saya, ia menjadi kamus berjalan untuk berbagai peristiwa di tanah air. Juga, tentang rekam jejak sejumlah tokoh di negeri ini.
Perjalanannya sebagai seniman multi-talenta, sangat panjang. Baik sebagai penyair, jurnalis, cerpenis, novelis, penulis skenario, maupun pencipta lagu. Salah satu lagu ciptaan Harry Tjahjono "Harta Berharga" menjadi theme song serial televisi "Keluarga Cemara" telah menjadi buah bibir di mana-mana.
Salah satu skenario Harry Tjahjono adalah serial Si Doel Anak Sekolahan, yang membuat Mas Harry sempat kebanjiran orderan untuk menulis skenario. Ia belajar nulis skenario secara otodidak.
Bila selama ini Mas Harry yang menjadi penggerak berbagai event, melalui catatan ini, saya mengetuk hati para pihak untuk menggelar event untuk 70 tahun Harry Tjahjono.
Salam dari saya Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia.(**/Las)
Post a Comment