Adri Darmadji Woko Melampaui Seduhan Teh Poci
JAKARTA,- Adri, tetaplah Adri Darmadji Woko. Sebuah nama, yang terus tegar, meski tiada henti dikikis usia. Dengan dua tangan yang agak gemetar, ia memegang ceret almunium, kemudian menuangkan air panas dari sana ke cangkir putih di atas meja.
Uap panas mengepul. Aroma teh poci menebar, membawa angan melayang ke hamparan kebun teh di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Tak ada yang lebih terhormat, dari seduhan sekaligus suguhan teh poci dari Adri Darmadji.
Senja Terus Menua.
hari semakin padu
pekat merambat
di kejauhan
Begitu Adri Darmadji menggoreskannya dalam sebait puisi. Dari hatinya, puisi tiada henti mengalir melalui nadinya. Saya terkesiap. Alangkah lekas ia menemukan diksi, seolah musim panen kata-kata berlangsung sepanjang waktu. Tanpa jeda.
Saya larut dalam nikmatnya teh poci, tatkala kehangatannya menyeruak dari ruang mulut ke terowongan tenggorokan. “Imajinasi beriringan dengan tiap langkah yang saya lalui. Kata-kata senantiasa mendekati sanubari,” gumamnya sembari menggeser cangkir dari tepi meja.
Ia tak hanya melangkah di jalanan. Ia melangkah dari rak ke rak buku. Ia melangkah dari buku ke buku. Dari lembaran ke lembaran. Tanpa letih, ia menjangkau hari-hari kemarin dengan buku-buku. Juga, melompat ke esok. Segalanya padu merekat dalam keseharian, hingga kemarin-kini-dan esok menggumpal menjadi spirit hidup.
Barangkali, itulah yang membuat Adri Darmadji tak pernah merasa tua dalam penjelajahannya. Buku-buku membuatnya berapi-api. Kata-kata menjadikannya senantiasa berdaya. Dan, puisi menerbangkannya ke lapisan langit. Bahkan, ketika “pekat merambat.”
Di teras rumahnya, di bawah cahaya yang temaram, saya takjub berhadapan dengan sosok yang setia. Setia kepada kata-kata. Setia kepada puisi. Di luar sana, orang-orang menyapa puisi secara sambil lalu. Adri Darmadji, tidak. Ia kukuh dalam kesetiaannya.
Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Memandang lekat ke ujung-ujung rambutnya yang mulai jarang. Alangkah berdaya kata-kata, hingga ia seolah tak pernah letih. Tak kunjung letih.
“Saya minoritas di sini,” gumamnya tentang sebuah perih.
Di rumah yang penuh dengan buku-buku, Adri Darmadji panglima sekaligus prajurit untuk menyelamatkan nyawa buku-bukunya. Ia bertarung sepanjang waktu untuk tiap lembar, untuk tiap kata yang tercetak di sana. Buku-buku adalah prajurit hidupnya. Ia menjaga, senantiasa berjaga.
Salam dari saya Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia
(*/Las)
Post a Comment